Selasa, 23 Maret 2010


Manusia tak bisa bertahan hidup selain lewat pikirannya. Ia datang ke dunia tanpa senjata. Otak adalah satu-satunya yang ia punya. Binatang memperoleh pangan lewat kekuatan. Manusia tak punya cakar, tak punya taring, tak punya tanduk, otot-ototnya tidak sangat perkasa. Untuk makan ia harus bercocok-tanam atau berburu. Untuk menanam, ia perlu proses berpikir. Untuk berburu, ia perlu senjata, dan perlu membuat senjata -- lagi-lagi suatu proses berpikir. Dari keniscayaan yang paling sederhana ini hingga ke abstraksi religius tertinggi, dari roda kereta sampai gedung pencakar langit, segala yang membuat kita seperti adanya sekarang dan segala yang kita miliki kini datang dari satu atribut manusia -- fungsi-fungsi otaknya yang menalar.
Namun pikiran merupakan atribut individu. Tidak ada yang namanya otak kolektif. Tidak ada yang namanya pemikiran kolektif. Suatu kesepakatan yang dicapai sebuah kelompok manusia hanyalah kompromi atau jalan tengah dari sekian banyak pemikiran individual. Kesepakatan hanyalah konsekuensi sekunder. Tindakan primer -- proses menalar -- harus dilakukan oleh tiap manusia sendirian. Kita bisa membagi makanan pada banyak orang. Namun mustahil kita mencerna makanan itu dalam sebuah perut kolektif. Tak ada manusia yang bisa memakai paru-parunya untuk bernapas bagi manusia lain. Tak ada orang yang dapat menggunakan otaknya untuk berpikir bagi orang lain. Seluruh fungsi raga dan jiwa adalah pribadi. Tak dapat dibagi atau ditransfer.